Selasa, 15 Maret 2011

RAHMAH (رَحْمَةٌ) KASIH SAYANG.

Rahmah (رَحْمَةٌ) atau Rahmat berasal dari akar kata Rahima-yarhamu- Rahmah (رَحِمَ ـ يَرْحَمُ ـ رَحْمَةً). Di dalam berbagai bentuknya, kata ini terulang sebanyak 338 kali di dalam Al-quran. Yakni, di dalam bentuk fi‘l mâdhi disebut 8 kali, fi‘l mudhâri‘ 15 kali, dan fi‘l amr 5 kali. Selebihnya disebut di dalam bentuk ism dengan berbagai bentuknya. Kata rahmah sendiri disebut sebanyak 145 kali.

Ibnu Faris menyebutkan bahwa kata yang terdiri dari fonem ra, ha, dan mim, pada dasarnya menunjuk kepada arti “kelembutan hati”, “belas kasih”, dan “kehalusan”. Dari akar kata ini lahir kata rahima (رَحِمَ), yang memiliki arti “ikatan darah, persaudaraan, atau hubungan kerabat.” Penamaan rahim pada peranakan perempuan karena darinya terlahir anak yang akan menerima limpahan kasih sayang dan kelembutan hati.

Al-Asfahani menyebutkan bahwa rahmah adalah belas kasih yang menuntut kebaikan kepada yang dirahmati. Kata ini kadang-kadang dipakai dengan arti ar-riqqat al-mujarra­dah (الرَّقَّة اُْلُمَجَّرَدَةُ = belas kasih semata-mata) dan kadang-kadang dipakai dengan arti al-Ihsân al-mujarrad dûn ar-riqqah (الإِحْسَانُ اْلمُجَرَّدُ دُوْنَ الرِّقَّةِ = kebaikan semata-mata tanpa belas kasih). Misalnya, jika kata rahmah disandarkan kepada Allah, maka arti yang dimaksud tidak lain adalah “kebaikan semata-mata.” Sebaliknya, jika disandarkan kepada manusia, maka arti yang dimaksud adalah simpati semata. Oleh karena itu, lanjut Al-Asfaha­ni, diriwayatkan bahwa rahmah yang datangnya dari Allah adalah in‘âm ( إِنْعَامٌ = karunia atau anugerah), dan ifdhâl (إِفْضَالُ = kelebihan) dan yang datangnya dari manusia adalah riqqah ( رِقَّةٌ = belas kasih).

Senada dengan Al-Asfahani, Ibnu Manzur di dalam Lisân al-‘Arab menyebutkan bahwa orang Arab membedakan antara kata rahmah yang disandarkan kepada anak cucu Adam dengan yang disandarkan kepada Allah. Kata rahmah yang disandarkan kepada anak cucu Adam adalah riqqat al-qalb wa 'athfih (رِقَّةُ الْقَلْبِ وَعَطْفِهِ = kelembutan hati dan belas kasihnya), sedangkan kata rahmah yang disandarkan kepada Allah adalah athfuh wa Ihsânuhu wa rizquhu (عَطْفُهُ وَاِحْسَانُهُ وَرِزْقُهُ = belas kasih, kebaikan, dan rezeki-Nya).

Kata rahmah yang digunakan di dalam Alquran hampir semuanya menunjuk kepada Allah Swt, sebagai subyek utama pemberi rahmah. Atau dengan kata lain, rahmah di dalam Alquran berbicara tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan kasih sayang, kebaikan, dan anugerah rizki Allah terhadap makhluk-Nya. Di samping itu, dari akar kata rahima, lahir beberapa kata yang menjadi nama dan sifat utama Allah Swt. Misalnya, kata ar-râhim (الرَّاحِمُ) yang disebut sebanyak 6 kali, ar-rahmân (الرَّحْمَانُ) yang berwazan fa’lân yang menunjukkan bahwa Dia mencurahkan rahmat yang teramat sempurna tetapi bersifat sementara tidak langgeng kepada semua makhluknya, disebut sebanyak 57 kali, dan ar-rahîm (الرَّحِيْمُ) yang berwazan fa’îl yang menunjukkan bahwa Dia terus-menerus dan secara mantap mencurahkan rahmatya kepada orang-orang yang taat kepada-Nya di akhirat kelak, disebut sebanyak 95 kali, sekali di antaranya disebutkan untuk menyifati pribadi Rasulullah Muhammad Saw.

Dengan demikian, jelas bahwa subyek utama dari pem­beri rahmah yang diungkap Alquran adalah Allah Swt. Dia menyifati diri-Nya dengan kasih dan sayang yang mahaluas (rahmân), mewajibkan bagi diri-Nya sifat rahmah (S. Al-An‘âm [6]: 12). Rahmah-Nya meliputi segala sesuatu (S. Ghâfir [40]: 7). Rahmah-Nya ditaburkan kepada semua makhluk dan tak satu makh­luk pun yang tidak menerima rahmah walau sekejap. Di dalam hadis dinyatakan bahwa Dia lebih pengasih kepada hamba-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya (HR. Bukhari). Rahmah-Nya mendahului murka-Nya (HR. Bukhari). Bahkan, musibah ataupun kesusahan yang menimpa seorang hamba pada hakikatnya adalah perwujudan dari rahmat-Nya jua. Bukankah orang tua yang menghukum anaknya yang berbuat kesalahan merupakan bukti kasih sayang orang tua tersebut kepadanya? Dengan demi­kian, rahmah-Nya adalah anugerah dan nikmat Ilahi di dalam seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.

Demikian, banyak sekali ayat Al-quran maupun hadis Nabi Saw. yang berbicara tentang keluasan rahmah Allah. Oleh karena itu, seorang hamba tidak boleh berputus asa akan perolehan rahmah Allah sekalipun hamba tersebut telah berbuat sesuatu yang melampaui batas (S. Az-Zumar [39]: 53). Seseorang yang berputus asa akan perolehan rahmah Allah dicap oleh Alquran sebagai orang yang sesat (S. Al-Hijr [15]: 56). Sementara itu, mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya juga dicap sebagai orang-orang yang berputus asa akan perolehan rahmah Allah (S. Al-‘Ankabût [29]: 23).

Seiring dengan keluasan rahmah-Nya, Al-quran men­gungkapkan bahwa rahmah Allah diberikan kepada alam secara keseluruhan, termasuk di dalamnya manusia (S. Al-Anbiyâ’ [21]: 107), orang-orang yang beriman (lihat misalnya, S. Al-Nisâ’ [4]: 175, S. Al-A'râf [7]: 52; S. At-Taubah [9]: 61; S. Hûd [11]: 57), orang-orang yang berpegang teguh di dalam keima­nannya (S. An-Nisâ’ [4]: 175), orang-orang yang beramal saleh (S. Al-Jatsiyah [45]: 30), orang-orang yang berbuat kebaikan (S. Luqmân [31]: 3), orang-orang yang berserah diri (S. An-Nahl [19]: 89), serta orang-orang (kaum) yang yakin (S. Al-Jâtsiyah (45): 20).

Rahmah yang diturunkan oleh Allah ke alam semesta secara umum berupa pengutusan para nabi dan rasul (S. Al-Anbiyâ’ [21]: 107) serta kitab petunjuk (S. Luqmân [31]: 3). Rahmah yang diberikan khusus kepada orang-orang yang beriman dan taat kepada-Nya berupa penghindaran dari golongan orang-orang yang merugi (S. Al-Baqarah [2]: 64) peng­hindaran dari azab (lihat misalnya S. Al-A‘râf [7]: 72; S. Hûd [11]: 58, 63, 66, 73, dan 94; serta S. An-Nûr [24]: 14), perlindungan dari godaan setan (S. An-Nisâ’ [4]: 83), penghindaran dari penyesatan oleh golongan orang-orang (kelompok) yang sesat (S. An-Nisâ’ [4]: 113), serta pemberian keistimewaan dan ilmu ladunni yang langsung dari sisi-Nya (S. Al-Kahf [18]: 65).

Para ulama menyimpulkan bahwa rahmah Allah kepada makhluk-Nya terbagi menjadi dua, yakni rahmah umum dan rahmah khusus. Rahmah umum diberikan kepada seluruh makhluk-Nya tanpa kecuali, sedangkan rahmah khusus hanya diberikan kepada makhluk-Nya yang beriman dan taat kepada-Nya. Sementara itu, ulama berpendapat bahwa dengan sifat rah­man-Nya, Allah Swt. memberikan karunia rahmah-Nya secara umum kepada seluruh makhluk-Nya di dunia ini tanpa kecua­li, sedangkan dengan sifat rahim-Nya, Allah Swt. memberikan rahmah-Nya secara khusus kepada orang-orang yang beriman dan taat kepada-Nya di akhirat kelak. Agaknya, pendapat ini disandarkan kepada salah satu prolog doa dari Nabi Saw. yang menyatakan: Ya rahmân ad-dunyâ wa rahîmu al-âkhirah” (يَارَحْمَنَ الدُّنْيَا وَرَحِيْمُ اْلأَخِرَةِ = Wahai Yang Maha Pengasih di dunia dan Maha Penyayang di akhirat).

Adapun rahîm (رَحِيْمٌ) yang menjadi sifat Rasulullah Saw. disebutkan dalam S. At-Taubah [9]: 128. Di dalam ayat ini, disebutkan empat sifat utama Rasulullah Saw., yaitu sifat azîz (عَزِيْزٌ = empati yang tinggi), Harîsh (حَرِيْصٌ = sangat menginginkan [keselamatan]), raûf (رَؤُوْفٌ = amat belas kasih), dan rahîm (رَحِيْمٌ = amat penyayang). Keempat sifat ini disebutkan dalam kon­teks penegasan Allah Swt. kepada orang-orang Arab Mekah bahwa telah diutus (datang) kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (Arab keturunan Bani Hasyim) yang memiliki sifat empati yang tinggi terhadap kesulitan dan penderitaan yang mereka alami, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi mereka, dan amat belas kasih lagi amat penyayang kepada orang-orang beriman. Frase raûfun rahîmun (رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ) yang menutup ayat ini ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir dengan: "amat belas kasih kepada orang-orang yang taat, dan amat lembut terhadap orang-orang yang berbuat dosa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar